PERKEMBANGAN MORAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN
A. Ranah Perkembangan.
Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan membantu
perkembangan peserta didik. Oleh karena itu pendidikan perlu disesuaikan
dengan proses dan tahapan perkembangan. Artinya, penyelenggaraan
pendidikan didasarkan pada pengetahuan perkembangan khas individu dalam
rentang usia (ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual).
Prinsip perkembangan yang perlu dipahami untuk dapat menyelenggarakan
pendidikan berbasis pada perkembangan yaitu :
Perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional merupakan domain yang
saling berkaitan. Perkembangan dalam satu domain dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh perkembangan pada domain lainnya.
Perkembangan terjadi dalam urutan yang relative teratur dengan
kemampuan keahlian dan pengetahuan yang terbentuk kemudian akan
didasarkan pada keahlian, kemampuan dan pengetahuan yang sudah diperoleh
sebelumnya. Pengetahuan tentang perkembangan khas dalam rentang usia ini
bisa menjadi kerangka umum untuk menjadi pedoman guru dalam
mempersiapkan lingkungan belajar.
Variasi individual mengkarakterisasi perkambangan anak. Setiap anak adalah
individu yang unik dan semua punya kekuatan, kebutuhan, dan minat masing-
masing. Mengenali variasi individu ini merupakan aspek utama untuk menjadi
guru yang kompeten.
Perkembangan dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultural yang beragam,
guru perlu memahami bagaimana konteks sosiokultural seperti etnis,
kemiskinan yang mempengaruhi perkembangan anak. Guru perlu mempelajari
kultur mayoritas anak jika berbeda dari kulturnya sendiri.
Anak-anak adalah pembelajar aktif dan harus didorong untuk
mengkonstruksi pemahaman dunia di sekitarnya. Anak-anak memberi
kontribusi proses belajar mereka sendiri saat mereka berusaha untuk memberi
makna atas pengalaman keseharian mereka.
Perkembangan akan meningkat jika anak diberi kesempatan untuk
mempraktikkan keahlian baru dan jika anak merasakan tantangan di luar
kemampuan mereka saat itu.
Anak-anak akan berkambang dengan amat baik dalam konteks komunitas
dimana mereka aman dan dihargai kebutuhan fisiknya dipenuhi dan mereka
merasa aman secara sikologis.
B. Teori Perkembangan Moral
1. Teori Perkembangan Jean Piaget
Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah ataau meningkatkaan tahap perkembangan moral berikutnya.
Dalam pandangan Pigeat tahap-tahap kongnitif mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik berikut:
- Setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda secara kulitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan permasalahan yang sama.
- Perbedaan cara berfikir anatara anak satu dengan yang lain seringkali dapat dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berfikir yang saling berbeda. Dalam hal ini ada serangkaian langkah yang konsisten dalam kerangka berfikirnya, dimana tiap-tiap anak-akan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan usianya.
- Masing-masing cara berfikir akan membentuk satu kesatuan yang terstruktur. Ini berarti pada tiap tahap yang dilalui seorang anak diatur sesuai dengan cara berfikir tertentu. Piaget mengakui bahwa cara-cara berfikir, atau struktur tersebut pada dasarnya mengendalikan pemikiran yang berkembang.
- Tiap-tiap urutan dari tahap kongnitif pada dasarnya merupakaan suatu integrasi hirarkhis dari apa yang telah dialami sebelumnya.
2. Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Menurut Kohlberg pendekatan yang baik yang harus dilakukan untuk memahami perilaku moral harus didasari pemahaman tentang tahapan-tahapan perkembangan moral. Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan moral adalah untuk mendorong individu-individu untuk mencapai tahapan- tahapan moral selanjutnya. Dalam keadaan ini maka guru tidak hanya menyajikan materi pelajaran kepada siswa, akan tetapi secara terus menerus harus dapat mendorong perkembangan berpikir dan perubahan–perubahan perilaku menuju tahap perkembangan yang lebih tinggi. Yang penting sebagai guru harus mengajarkan tentang nilai-nilai moral. ( Manan, 1995:8 )
Pada awalnya Kohlberg berpendapat enam tahap perkembangan moral yang dilalui seorang anak untuk dapat sampai ketingkat remaja atau tingkat dewasa. Keenam tahap tersebut masing-masing berada pada level tiga, dimana pada level pertama dan ke dua berada pada level Pre-Conventional, tahap ketiga dan keempat berada pada levelConventional, dan tahap lima dan enam berada pada Post conventional, autonomous atau pricipled level. Masing -masing tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut ini:
- Pre-conventional level ( tingkat sebelum konvensional)Pada level ini anak-anak memberikan renspon terhadap kebiasan yang mereka ketahui. Mereka belum dapat mematuhi dan menentukan baik buruk atau benar salahnya.
- Conventional level ( tingkat conventional)Pada level ini tumbuh kesadaran dari individu keluarga atau kelompok. Tindakan tersebut dilakukan karena kesadaran dan tidak memikirkan akibat yang muncul. Baik akibat sekarang atau yang akan datang.
- Past-conventional, Autonomous, or principled level ( masa lalu konvensional, otonomi, atau tingkat keyakinan)Pada level ini seseorang sudah berusaha untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki kebenaran tidak terkait dengan aturan kelompok. Seseorang harus yakin dengan dengan prinsipnya dan tidak akan terpengaruh dengan orang lain.
- Pandangan Psikologi Sosial Erik H. EriksonSepintas dapat di kemukakan bahwa Erik H. Erikson adalah salah satu dari kelompok Neo-Freodian dimana mereka yang bertitik tolak dari kerangka pemikiran Psikoanalisa Freud. Meski dalam hal terdapat perbedaan pandangan dengan Freud, antara lain menyangkut tentang konsep perkembangan moral.
- Memadukan Pandangan Kohlberg, Pieget Dan EricsonTeori-teori perkembangan dan pertimbangan moral, baik yang diungkapkan oleh Piaget, Kohlberg maupun Erikson sebagai mana dipaparkan terdahulu dapat dijadikan sebagai pengetahuan dalam membuka pemahaman awal perkembangan moral. Walaupun terdapat sejumlah perbedaan pandangan dan kekurangan dari masing- masing teori yang dikemukakan, namun pada prinsipnya merupakan mereka telah muntuk membuka peluang pengkajian-pengkajian lebih lanjut kearah pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam dari setiap tahap perkembangan tersebut. Satu hal yang paling nampak kesamaan dari beberapa pandangan ini adalah bahwa tiap-tiap perkembangan lebih lanjut dari setiap tahap perkembangan, ditentukan oleh tahap perkembangan sebelumnya. Beberapa hasil kajian Kohlberg yang mengungkapkan bahwa penilaian dan perbuatan moral bukanlah soal pada prinsipnya bersifat rasional, dan keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai memberikan kesan bahwa perhatiannya lebih banyak terarah pada perkembangan kognitif. Demikian juga banyaknya kritikan pola pertimbangan moral pasca-konvesional yang kurang dibuktikan oleh data-data empiris penelitian lintas budaya, sehingga menimbulkan bayak pertanyaan tentang pengaruh sosial budaya yang tidak diungkapkan oleh Kolhberg. Kajian yang dilakukan oleh Kohlberg maupun Piaget yang nampak lebih banyak terfokus pada perhatian perkembangan moral kognitif dilihat sebagai sisi yang lemah, akan tetapi selanjutnya kajian Erikson yang memberikan perhatian cukup proporsional terhadap besarnya peranan lingkungan sosiol serta nilai-nilai budaya sehingga dapat melengkapi kekurangan itu walaupun masih belum komprehensip.
Urain- uraian tersebut memberikan makna dan penegasan bahwa pemehaman terhadap suatu teori harus dikaji secara mendalam dan komprehensip, apalagi teori yang tidak bertolak dari nilai- nilai agama yang sifatnya sangat tentatif. Teori- teori tersebut dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan penambahan wawasan, akan tetapi untuk kepentingan lebih jauh apalagi untuk dapat dijadikan pegangan harus dikaji melalui sudut pandang nilai- nilai dasar yang lebih diyakini kebenarannya.
C. Implementasi Keterpaduan Pendidikan Moral Dalam Pembelajaran
Beberapa teori atau pandangan yang dikemukakan sebelumnya memberikan inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap perkembangan dan eksistensi siswa, pemilihan bahan pembelajaran, penentuan strategi pembelajaran dalam upaya mewujudkan proses pembelajaran yang optimal.
1. Pemahaman Peserta Didik
Pemahaman peserta didik merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Jika guru memahami peserta didik dengan baik, maka ia dapat memilih dan menentukan sumber-sumber belajar yang tepat, pendekatan- pendekatan yang sesuai, mampu mengatasi masala- masalah pembelajaran sehari-hari dengan baik, sehingga potensi anak dapat didorong untuk mencapai perkembangan yang optimal melalui penyelenggaraan proses pembelajaran. Pemahaman potensi peserta didik merupakan kerangka dasar bagi pemahaman peserta didiksecara keseluruhan. Kekeliruan pandangan terhadap eksistensi mereka seringkali menimbulkan dampak yang serius bagi anak. Sebagai contoh anak yang tinggal kelas sering dianggap sebagai anak bodoh. Ini tentu anggapan yang tidak tepat dan sangat merugikan anak, sebab kenyataannya banyak anak- anak yang mampu mencapai keberhasilan yang baik, sementara sebelumnya mereka pernah mengalami pinggal kelas. Seharusnya masalah- masalah ini dikaji dan dianalisis kasus per kasus. Dalam psikologi pendidikan dikatakan, anak- anak yang nuggak alias tinngal kelas umumnya tergolong anak yang underachiever atau tidaak terpenuhi kebutuhannya ( Suryana, 2007 : 1 ) Conny Semiawan, lebih lebih jauh menjelaskan bahwa anak yang underachiever dalam kesehariannya kurang dapat pengarahan sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya saja, si anak senang sekali membaca tetepi dirumah tidak atau kurang disediakan sarana bacaan yang sesuai dengan usianya. Atau si anak gemar sekali dengan musik, namun orang tua tidak memperbolehkannya ikut les musik karena takut mengganggu pelajaran sekolahnya.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya pemahaman peserta didik mencakup memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip- prinsip perkembangan kognitif, memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip- prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.Berkenaan dengan prinsip –prinsip perkembangan kognitif, guru perlu memahami periode perkembangan kognitif anak. Pakar psikolgis dari Swis, Jean Piaget mengemukakan empat periode perkembangan kognitif anak yaiutu : periode sensorimotorik, periode operasi awal, periode operasi kongkrit dan periode operasi formal ( Kartadinata dan Dantes 1996/1997: 60 ).
- Periode Sensorimotorik
Menurut Piaget, sampai usia kurang lebih delapan belas bulan perkembangan skema lebih terpusat kepada sensorimotorik. Bayi mengembangkan dan mengkoordinasikan sejumlah besar ragam keterampilan perilaku, namun perkembangan skema verbal dan kognitif masih sangat miskin dan tidak terkoordinasikan. Pembentukan konsep pada periode ini terbatas pada obyek permanen, yaitu obyek yang tampak dalam batas pengamatan anak. Perilaku obyektif secara perlahan- lahan berangsur bergerak ke arah kegiatan yang bertujuan.
- Periode Operasi Awal
Kurang lebih dari usia delapan belas bulan hingga kira- kira tujuh tahun, anak menginternalisasi skema sensorimotorik ke dalam bentuk skema kognitif (imajinasi dan pikiran ). Seorang anak yang dihadapkan pada teka-teki, gambar atau menyusun balok, anak memulai kegiatannya dengan mengingat kembali pengalaman sebelumnya dalam situasi yang sama.
Skema yang berkembang pada masa ini belum merupakan skema yang stabil. Anak belum banyak belajar menimbang sesuatu berdasarkan persepsi orang lain. Oleh sebab itu kecaapan yang berkembang dalam periode ini masih bersifat egosentrik. Artinya apa yang ia lakukan merupakan cara yang paling benar dan seolah- olah tidak ada alternatif lain. Di samping itu anak masih sangat mudah dibingungkan dengan keragaman obyek. Kemampuan anak membedakan obyek akan sangat
tergantung pada ciri- ciri fisik permanen yang teramati.
- Periode Operasi Kongkrit
Sejak usia kurang lebih tujuh tahun sampai 12 tahun, perkembangan skema pada periode ini lebih berupa skema kognitif, terutama yang berkaitan dengan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah. Periode opersi kongkrit tidak hanya memungkinkan anak memecahkan masalah khusus, tetapi juga belajar untuk mempelajari keterampilan dan kecekapan berpikir logis yang membantu mereka memaknai pengalaman.
- Periode Operasi Formal
Periode ini berlangsung pada usia 12 tahun ke atas. Ciri utama dari periode ini adalah perkembangan kecakapan berpikir simbolik dan pemahaman isi secara bermakna tanpa bergantung pada keberadaan objek fisik, atau bahkan dalam imajinasi masa lalu akan objek sejenis. Anak yang berada pada periode operasi formal mampu berpikir logis dan matematis, abstrak dan bahkan mampu memahami hal- hal yang secara teoritik mungkin terjadi akan tetapi dalam pernah terjadi dalam kenyataan.
2. Mengaktualisasikan Potensi Siswa
Upaya- upaya pengembangan peserta didik agar mampu mengaktualisasikan potensi- potensi yang dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Dalam praktek pelaksaan pendidikan di sekolah masih seringkali terdapat persepsi yang keliru yang memisahkan tanggung jawab guru dalam batas- batas pengembangan potensi tertentu dari peserta didik. Kita sering mendengar misalnya pihak yang menyatakan bahwa upaya pengembangan aspek- aspek nilai / moral hanya merupakan kewajiban guru- guru bidang studi tertentu saja, sehingga ada guru- guru yang mengasuh bidang studi yang lain merasa bahwa mereka hanya bertanggung jawab mengajarkan materi pelajaran yang menjadi muatan bidang studi yang diajarkannya. Padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan murid merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh semua sekolah dan guru, dan itu berarti sangat keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran pada
bidang studinya saja ( Gordon, 1997 : 8). Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui perkembangan kepribadian dan nilai- nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh yang lain ( Gaffar dalam Supriadi: 1998,xv ). Karenanya dalam proses pembelajaran di kelas guru tidak cukup hanya berbekal pengetahuan berkenaan dengan bidang studi yang diajarkan, akan tetapi harus memperhatikan aspek –aspek pendidikan lainnya yang memiliki kedudukan sama pentingnya untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang diharapkan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ara Tai, anak usia 12 tahun asal Slandia Baru tentang guru yang baik. “ Guru yang baik itu suka bekerja keras yang disertai kasih sayang.
3. Pemilihan Bahan Pembelajaran
Untuk terwujudnya iklim dan proses pembelajaran yang kondusif perlu didukung oleh berbagai faktor, baik berkenaan dengan kemampuan guru, misalnya di dalam memilih bahan ajar, sarana dan fasilitas pendukung serta yang tidak kalah pentingnya kesiapan dan motivati siswa untuk belajar dan mencapai hasil belajar yang optimal. Dalam pemilihan bahan ajar ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip- prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan.
DAFTAR PUSTAKA
- https://www.scribd.com/doc/308511081/Makalah-Belajar-dan-Pembelajaran-Perkembangan-Moral-Peserta-Didik
- https://dokumen.tips/documents/perkembangan-moral-dan-implementasinya-dalam-pembelajaran.html
Komentar
Posting Komentar